Selasa, 08 Juni 2010



TUA - TUA TAPI KECE...
HAHAHAHAHA



SEKAA GONG MERTHA SARI
BANJAR BANGKILESAN
MULE YAHUUUDDD!!!!!!!

Kamis, 03 Juni 2010




http://commondatastorage.googleapis.com/static.panoramio.com/photos/original/20705803.jpg


SeniTari

Seni Tari di Bali benkait erat dengan prosesi keagamaan. Bahkan layak dipercaya bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan penetapan tatanan agama Hindu. Dewa Ciwa yang dipercaya oleh umat Hindu sebagai Sang Hyang Tunggal digambarkan pula sebagai. “Dewa Tari” dengan gelar Ciwa Nataraja dalam sikap gerakan tari yang diartikan sebagai gerakan kekuatan mengisi ruang saat menciptakan alam semesta.

Pada awalnya, tari-tarian yang ditekuni oleh para pragina (penari) adalah jenis tarian sakral sebagai bagian tak tenpisahkan dengan prosesi upacara dan hanya dipegelarkan tatkala diselenggarakan upacara keagamaan di Pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang merupakan pelengkap suatu prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi media komunikasi masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan.

Dari jenis dan fungsinya; seni tari dalam anti luas berikut seni karawitan (gamelan) yang mengiringinya dapat dipilah dalam 3 kelompok. yaitu:

Tari Wali (Religius)


Merupakan jenis tari berikut karawitan yang dipentaskan sehubungan dengan dilaksanakan suatu upacara keagamaan di suatu Pura. Tari Wali/sacral ini umumnya dipentaskan di halaman tengah Pura (Jeroan/Purian) dan tidak akan dipentaskan pada acara-acara lainnya. Perangkat tari sepenti busana, topeng atau juga barong sangat dikeramatkan oleh warga penyungsungnya senta disimpan di suatu Pura sehingga dipersyaratkan adanya upacara khusus saat diambil dari tempat penyimpanannya, saat ditarikan serta di simpan kembali pada tempatnya.

Salah sawtu contohnya adalah Tari Topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng yang ada di Desa Ketewel, Gianyar. Topeng-topeng yang menggambarkan wajah wanita ini membuatnya di juluki Topeng Widyadari. Tarian ini hanya dipentaskan setiap 6 bulan sekali oleh anak-anak wanita saat upacara pada Budha Wage Pagerwesi. Berbeda dengan topeng pada umumnya di Bali yang menggunakan tali pengikat di kepala saat digunakan, topeng Sang Hyang menggunakan canggem sebagai penahan yang harus digigit oleh penarinya harus menggunakan selembar kain ditangan kanannya untuk membantu memperbaiki posisi topeng saat menari jika diperlukan.
Jika tari Topeng Sang Hyang ditarikan oleh anak-anak (belum menstruasi), di Pura Samuan Tiga Bedulu-Gianyar saat diselenggarakan upacara selalu digelar tari sutri atau tari Rejang yang ditarikan oleh para Sutri, yaitu wanita- wanita tua yang sudah lanjut usia yang tidak lagi mengalami menstruasi (monopouse). Dari dua contoh diatas tergambar bahwa tari sakral tidak saja mensyaratkan tempat dan perangkat yang suci namun juga penarinya.

Seni Bebali (Ceremonial)


Tari Bebali merupakan jenis tari Bali yang juga digelar pada suatu upacara keagamaan dan umumnya tari Bebali dipentaskan dengan suatu lakon yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut. Tari Topeng Pajegan, Topeng Panca, Drama Tari Gambuh dan Wayang misalnya, adalah jenis tari Bebali yang paling sering dipentaskan. Sebagai pengiring suatu upacara. Tari Bebali biasanya dipentaskan di Jaba Tengah yang merupakan ruang diantara halaman luar (Jaba Sisi) dengan halaman utama (Jeroan) suatu Pura.

Tari Balih- balihan (performance)


Seni Balih-balihan merupakan perkembangan dari seni Wali dan Bebali yang ditujukan sebagai sarana hiburan dengan lakon serta kreasi tari dan tabuh yang lebih bebas. Seringkali jenis balih-balihan ini memakai lakon-lakon yang populer di masyarakat saat itu untuk membuka kesempatan masuknya emosi penonton kedalam pergelaran tersebut merupakan bagian yang sama pentingnya dengan penari dan penabuh pada biasa disebut wewalen. Sama halnya dengan tari, karawitan pun memiliki tingkatan sakral hingga profan yang menentukan fungsinya dalam pementasan.

Seni Tari Bali Tak Akan Mati


ajeg-bali-siwi



BRISBANE, ANTARA NEWS

Masyarakat Bali tidak akan kehilangan seni tarinya, karena hampir semua seni di daerah itu bersifat fungsional terhadap adat dan agama, kata pengamat masalah pariwisata, sastra dan budaya Bali, Dr.I Nyoman Darma Putra, di Brisbane, Senin (1/9).

“Bahkan dalam 20 tahun terakhir ini, saya melihat jumlah anak Bali yang mempelajari tari Bali tumbuh pesat, melebihi apa yang mungkin pernah terjadi di masa lalu,” katanya menanggapi kegundahan Pemimpin padepokan tari Bali “Ulu Chandra”, Wayan Sutedja, terhadap masa depan kesenian tradisional Bali.

Penulis buku Bali dalam Kuasa Politik terbitan Arti Foundation Juni 2008 itu mengatakan, banyak anak sekolah di daerah pedesaan dan perkotaan Bali berlomba-lomba dengan rasa bangga mempelajari tari dan tabuh Bali.

“Di Bali dewasa ini, hampir di setiap jalan ada terpajang papan `kursus` tari Bali, di gang-gang kecil, di banjar-banjar, kegiatan tari-menari mudah ditemukan. Anak Bali bangga dengan identitas keseniannya,” kata dosen senior Fakultas Sastra Universitas Udayana yang menjadi peneliti tamu di Universitas Queensland, Australia ini.

Menurut Darma Putra, kini jauh lebih banyak orang yang bisa menari Bali dibandingkan di masa lalu. Bahwa kemudian sebagian besar anak itu berhenti menari setelah dewasa atau tidak meneruskan upayanya hingga menjadi penari profesional, maka hal itu soal lain.

“Karena itu saya tidak khawatir orang Bali akan kehilangan seni tarinya karena hampir semua seni di Bali, termasuk kesenian Bali, bersifat fungsional terhadap adat dan agama. Pernyataan bahwa kelak orang Bali belajar tari Bali ke Jepang atau orang Jawa belajar tari Jawa ke Belanda saya kira berlebihan,” katanya.

Kegundahan Sutedja

Sebelumnya, Pemimpin padepokan tari Bali “Ulu Chandra”, Wayan Sutedja, mengatakan saat anak-anak asuhnya tampil di acara Pesona Indonesia pekan lalu bahwa ia gundah dengan masa depan kelestarian kekayaan tari tradisional Indonesia.

Kegundahan pribadinya itu disebabkan oleh langkanya anak-anak dan remaja di Tanah Air yang tertarik belajar dan mendalami aneka tari-tarian asli negerinya dan menjadikannya “gantungan hidupnya” sebagai dampak dari rendahnya apresiasi pemerintah dan bangsanya pada profesi seniman, katanya.

“Ketakutan saya pribadi pada generasi berikut adalah mereka belajar tari Jawa dari Belanda dan tari Bali dari Jepang karena anak-anak cucu kita tak bisa hidup dari sekadar berprofesi sebagai penari, betapa pun maestronya mereka akibat apresiasi kita yang sangat rendah pada seni,” kata Wayan Sutedja.

Pengusaha barang-barang kerajinan perak Bali yang mencintai seni tari Bali dan Nusantara pada umumnya ini mengatakan, para seniman Indonesia belum bisa hidup dengan layak dari hanya berkarir sebagai seniman.

Di tengah kondisi Indonesia yang belum menghargai secara pantas profesi seni tari ini, orang asing justru berdatangan ke Bali dan daerah lain di Tanah Air untuk belajar tari tradisional, katanya.